Ketika Uda
Mengalami Spesialisasi
Mungkin
muncul banyak penafsiran setelah membaca judul diatas. Ada yang menggiring
definisi ke konotasi positif atau bahkan negatif. Tidak apa-apa, toh itu malah
bagus, karena orang akan membaca secara komprehensif untuk memecahkan rasa
penasaran atau hanya sekedar mengetahui apa yang saya maksud dengan
“spesialisasi” tersebut, atau bahkan mungkin malah tidak peduli, hehe..
Dewasa
ini, banyak sekali perubahan yang terjadi di segala segi kehidupan kita,
termasuk dari segi budaya. Budaya Minang pun saat ini juga semakin hari terasa semakin
mengalami perubahan, setidaknya buat diri saya pribadi. Budaya luar yang
terkadang cenderung dinilai lebih menarik, terasa demi sedikit mulai mengikis
kebudayaan asli kita sendiri. Sebagai contoh sederhana misalnya, di suku
Minang, ada sebutan “Uda” dan “Uni”. Dahulu sebutan “Uda” adalah sebutan untuk
laki-laki yang lebih tua (sedikit, klo banyak jatohnya ke sebutan “mamak/om”
atau lebih banyak lagi malah “inyiak/kakek”..hehe). Tetapi sekarang, sebutan
uda sepertinya sudah mengalami “spesialisasi” atau penyempitan makna. Saat ini,
(ntah dimulai sejak kapan, saya juga tidak tahu persis), sebutan Uda sudah
semakin sempit maknanya menjadi sebutan untuk Suami dari si Istri. Saya punya
pengalaman sendiri mengenai ini. Ketika saya “merantau” ke daerah tempat saya
mencari penghidupan di salah satu kabupaten yang masih terletak di Sumatera
Barat, saya dengan santainya menyapa laki-laki yang lebih tua umurnya dengan
sebutan uda. Awalnya saya mendengarkan teman-teman di kantor saling menyapa
dengan sebutan “abang”. Bagi saya yang tidak terbiasa dengan panggilan
tersebut, tetap mencoba menyapa dengan sebutan Uda. Pernah salah satu teman, mengatakan
bahwa tradisi disini memanggil laki-laki yang lebih tua dengan sebutan abang.
Dalam hati saya bertanya-tanya, kok demikian, bukannya kita ini berasal dari
suku Minang? Sudah menjadi budaya kita memanggil dengan sebutan uda, tapi ini
malah aneh. Saya tetap dengan pendirian saya. Suatu ketika, saya berkenalan dengan
seorang pria. Setelah ngobrol sana sini, saya tetap memanggil dia dengan
sebutan uda. Kemudian di salah satu kiriman pesan singkat melalui sms, saya
menerima berita seperti ini : “bisa ga klo panggilan uda, diganti dengan abang
saja? Karena klo uda, berasa sebagai suami istri..” Whaaat???? Jujur, agak syok
sih membaca pesan tersebut. Kemudian saya menyadari, bahwa masyarakat di daerah
ini berasal dari beberapa suku. Ada yang Sumatera Utara, Sumatera Barat dan
juga dari Jawa. Mungkin karena posisi geografis yang lebih dekat ke utara,
menyebabkan sedikit banyaknya hawa budaya utara berembus ke sini, salah satu
contoh budaya memanggil pria yang lebih tua dengan sebutan “abang” “menjalar”
kesini. Awalnya saya beranggapan demikian. Namun setelah saya ceritakan hal
tersebut ke salah satu teman yang berasal dan masih berdomisili di daerah asal
saya, dengan agak sedikit mengejutkan dia mengatakan bahwa fakta tersebut juga tengah
terjadi di daerah asal saya. Kemudian ingatan saya kembali terbang ke Padang,
dimana mahasiswa disana lebih senang memanggil senior mereka dengan sebutan
“abang” dan “kakak”. Jarang sekali yang memanggil dengan sebutan “uda” atau
“uni”. Padahal ketika dulu kuliah dan merantau ke Jawa, kami dengan sangat
senang dan bangga ketika memanggil senior kami yang berasal dari daerah yang
sama dengan sebutan “uda” dan “uni”. Memang benar ternyata, ketika kita
merantau jauh, rasa cinta tanah air itu tumbuh sangat besar. Dulu yang tidak
begitu tahu banyak dengan lagu Minang, malah menjadi menggemari lagu Minang. Ketika bertemu dimana saja dengan mahasiswa
yang berasal dari Minang, kami selalu memakai bahasa kami, tidak peduli di
angkot, bikun (bis kuning / bis kampus) orang di sekitar akan melihat kami
dengan tatapan aneh atau lucu. Makanya ketika pulang kampung liburan semester /
lebaran agak ternganga-nganga mendengar dan melihat fakta bahwa teman-teman
yang kuliah di Padang justru lebih “kota” dari kami yang benar-benar di kota
besar. Dari segi fashion ke kampus,
bahasa yang digunakan, benar-benar membuat saya tercengang.
Miris
rasanya melihat kenyataan yang ada. Demi mengadaptasi budaya lain, kita rela
membiarkan budaya kita terkikis sedikit demi sedikit, dan lama kelamaan justru
menjadi asing di daerahnya sendiri. Tapi, bagi saya pribadi, saya tetap
berusaha mencoba melestarikan budaya sendiri, setidaknya tetap memanggil
sebutan “uda” bagi siapa saja yang saya yakini berasal dari daerah asal saya
(Bukittinggi, Agam) atau saya yakin mereka asli Minang. Terlepas dari itu,
mungkin saya akan menyesuaikan dengan keadaan yang ada.
MERDEKAAA!!!!!!!!!!!!!!