Minggu, 23 Juni 2013


Ketika Uda Mengalami Spesialisasi

Mungkin muncul banyak penafsiran setelah membaca judul diatas. Ada yang menggiring definisi ke konotasi positif atau bahkan negatif. Tidak apa-apa, toh itu malah bagus, karena orang akan membaca secara komprehensif untuk memecahkan rasa penasaran atau hanya sekedar mengetahui apa yang saya maksud dengan “spesialisasi” tersebut, atau bahkan mungkin malah tidak peduli, hehe..
Dewasa ini, banyak sekali perubahan yang terjadi di segala segi kehidupan kita, termasuk dari segi budaya. Budaya Minang pun saat ini juga semakin hari terasa semakin mengalami perubahan, setidaknya buat diri saya pribadi. Budaya luar yang terkadang cenderung dinilai lebih menarik, terasa demi sedikit mulai mengikis kebudayaan asli kita sendiri. Sebagai contoh sederhana misalnya, di suku Minang, ada sebutan “Uda” dan “Uni”. Dahulu sebutan “Uda” adalah sebutan untuk laki-laki yang lebih tua (sedikit, klo banyak jatohnya ke sebutan “mamak/om” atau lebih banyak lagi malah “inyiak/kakek”..hehe). Tetapi sekarang, sebutan uda sepertinya sudah mengalami “spesialisasi” atau penyempitan makna. Saat ini, (ntah dimulai sejak kapan, saya juga tidak tahu persis), sebutan Uda sudah semakin sempit maknanya menjadi sebutan untuk Suami dari si Istri. Saya punya pengalaman sendiri mengenai ini. Ketika saya “merantau” ke daerah tempat saya mencari penghidupan di salah satu kabupaten yang masih terletak di Sumatera Barat, saya dengan santainya menyapa laki-laki yang lebih tua umurnya dengan sebutan uda. Awalnya saya mendengarkan teman-teman di kantor saling menyapa dengan sebutan “abang”. Bagi saya yang tidak terbiasa dengan panggilan tersebut, tetap mencoba menyapa dengan sebutan Uda. Pernah salah satu teman, mengatakan bahwa tradisi disini memanggil laki-laki yang lebih tua dengan sebutan abang. Dalam hati saya bertanya-tanya, kok demikian, bukannya kita ini berasal dari suku Minang? Sudah menjadi budaya kita memanggil dengan sebutan uda, tapi ini malah aneh. Saya tetap dengan pendirian saya. Suatu ketika, saya berkenalan dengan seorang pria. Setelah ngobrol sana sini, saya tetap memanggil dia dengan sebutan uda. Kemudian di salah satu kiriman pesan singkat melalui sms, saya menerima berita seperti ini : “bisa ga klo panggilan uda, diganti dengan abang saja? Karena klo uda, berasa sebagai suami istri..” Whaaat???? Jujur, agak syok sih membaca pesan tersebut. Kemudian saya menyadari, bahwa masyarakat di daerah ini berasal dari beberapa suku. Ada yang Sumatera Utara, Sumatera Barat dan juga dari Jawa. Mungkin karena posisi geografis yang lebih dekat ke utara, menyebabkan sedikit banyaknya hawa budaya utara berembus ke sini, salah satu contoh budaya memanggil pria yang lebih tua dengan sebutan “abang” “menjalar” kesini. Awalnya saya beranggapan demikian. Namun setelah saya ceritakan hal tersebut ke salah satu teman yang berasal dan masih berdomisili di daerah asal saya, dengan agak sedikit mengejutkan dia mengatakan bahwa fakta tersebut juga tengah terjadi di daerah asal saya. Kemudian ingatan saya kembali terbang ke Padang, dimana mahasiswa disana lebih senang memanggil senior mereka dengan sebutan “abang” dan “kakak”. Jarang sekali yang memanggil dengan sebutan “uda” atau “uni”. Padahal ketika dulu kuliah dan merantau ke Jawa, kami dengan sangat senang dan bangga ketika memanggil senior kami yang berasal dari daerah yang sama dengan sebutan “uda” dan “uni”. Memang benar ternyata, ketika kita merantau jauh, rasa cinta tanah air itu tumbuh sangat besar. Dulu yang tidak begitu tahu banyak dengan lagu Minang, malah menjadi menggemari lagu Minang.  Ketika bertemu dimana saja dengan mahasiswa yang berasal dari Minang, kami selalu memakai bahasa kami, tidak peduli di angkot, bikun (bis kuning / bis kampus) orang di sekitar akan melihat kami dengan tatapan aneh atau lucu. Makanya ketika pulang kampung liburan semester / lebaran agak ternganga-nganga mendengar dan melihat fakta bahwa teman-teman yang kuliah di Padang justru lebih “kota” dari kami yang benar-benar di kota besar.  Dari segi fashion ke kampus, bahasa yang digunakan, benar-benar membuat saya tercengang.
Miris rasanya melihat kenyataan yang ada. Demi mengadaptasi budaya lain, kita rela membiarkan budaya kita terkikis sedikit demi sedikit, dan lama kelamaan justru menjadi asing di daerahnya sendiri. Tapi, bagi saya pribadi, saya tetap berusaha mencoba melestarikan budaya sendiri, setidaknya tetap memanggil sebutan “uda” bagi siapa saja yang saya yakini berasal dari daerah asal saya (Bukittinggi, Agam) atau saya yakin mereka asli Minang. Terlepas dari itu, mungkin saya akan menyesuaikan dengan keadaan yang ada.

MERDEKAAA!!!!!!!!!!!!!!

Senin, 27 Agustus 2012

Itulah Sebabnya Kenapa Saya Lebih Suka Merantau




Merantau... Seperti judul film ya? J
Iya, film Merantau itu menceritakan pengalaman seorang Anak Bujang yang berasal dari Minangkabau pergi merantau ke daerah Jawa untuk mencoba peruntungan hidupnya. Dan memang seperti itulah kondisi masyarakat Minang yang sangat identik dengan kebiasaan (atau boleh dikatakan sebagai budaya) Merantau. Pada zaman dulu mungkin hukumnya “wajib” bagi para pemuda untuk mencoba  “menjamah” daerah lain, daripada tinggal di kampung, dan tidak tau mau berbuat apa. Tapi seiring beranjaknya waktu, kebiasaan  itu juga sudah bergeser dan merambah kaum wanita. Tingginya “demand” akan pendidikan, menuntut pemuda maupun pemudi mencari ilmu setinggi-tingginya, termasuk jika harus ke luar daerah sekalipun.
Itulah yang juga terjadi dalam hidup saya. Pernah merasakan bagaimana hidup di daerah orang tanpa sanak saudara pun, namun di tengah perjalanan mendapatkan banyak saudara baru yang bahkan bisa menjadi lebih dekat hubungannya daripada saudara / keluarga sendiri sekalipun. Saya jadi teringat kutipan kata-kata Imam Syafi’i yang berkaitan dengan ini :
“Orang yang berilmu dan beradab tidak akan tinggal di kampung halaman
Tinggalkan negerimu & merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti kawan & kerabat
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh mengenag

Singa jika tak tinngalkan sarang tak kan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak & terus diam
Tentu manusia bosan padanya & enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan”.

Kalo boleh sedikit flashback ke belakang, dulu selepas SMA saya ingiiiin sekali masuk UI. Di keluarga saya yang semuanya perempuan, saya adalah anak bontot yang notabene dikatakan sebagai anak manja (dan itu tidak berlaku untuk saya, karena beruntung kedua orang tua saya adalah orang tua yang sangat adil memperlakukan anak-anaknya). Diantara kami berlima, belum ada yang merantau jauh keluar Pulau Sumatera, paling jauh hanya sampai Aceh. Namun itu semua tidak menghalangi niat saya untuk merantau ke Jawa dan berhasil meyakinkan orang tua kalo disana saya akan baik-baik saja dengan bantuan senior yang kebetulan juga kenal dekat dengan keluarga. Singkat cerita, saya berhasil menerobos Pulau Jawa dan kuliah di UI.
Ketika merantau inilah saya  mendapatkan banyak (belum cukup banyak sih sebenernya :P ) keseruan, kelucuan, kesedihan, kecerdasan, kemandirian, kedewasaan, etc. SERU punya saudara baru dari berbagai belahan penjuru tanah air, dengan berbagai kebiasaan, kebudayaan, “penemuan baru” yang tidak akan didapatkan kalo hanya berdiam diri di tempat yang sama terus. LUCU melihat, mengalami, melakukan ide-ide dan kekonyolan-kekonyolan di masa-masa perkuliahan. SEDIH ketika mesti sakit tanpa ada perhatian dan masakan Bundo yang memulihkan, juga ketika uang bulanan sudah memasuki masa “sakaratul maut” dan mesti irit seirit-iritnya atau bahkan menahan malu dan tebelin muka untuk minjem ke tetangga sebelah kamar di kosan..haha..  Kemudian merasa CERDAS ketika menginjak dan belajar di kampus serba kuning itu, dimana banyak kebanggaan di dalamnya. Menjadi MANDIRI, karena sebagai anak rantauan kita memang dituntut untuk itu. Kita dituntut untuk bisa memutuskan segala sesuatunya sendiri, menjaga diri sebagai anak perempuan di tengah kehidupan kota besar yang ganas dan menggila. Menjadi semakin DEWASA karena kita banyak berhadapan dengan orang-orang yang berbeda karakter, isi kepala,sifat, RAS, etc. Akan tetapi yang paling penting bagi saya pribadi adalah, saya merasa jauh lebih dekat dengan Sang Pencipta ketika saya hidup “menyendiri di tengah keramaian” kota besar Jakarta (Depok sih sebenernya..hehe). Kenapa demikian?
Yaa... ketika kita hidup sendiri di tempat yang sama sekali asing, kita tidak punya sandaran dan tempat mengadu yang paling dekat kecuali kepada Allah swt. Ketakutan itu muncul dan membuat kita menjadi lebih membutuhkan pertolongan dan perlindungan-Nya. Setidaknya itulah yang saya rasakan saat itu. Di perjalanan dari kosan – kampus, hati senantiasa berzikir minta perlindungan dari Allah karena saya memang betul-betul takut di Jakarta terutama di awal kehidupan merantau. Ketika mendapat perlakuan tidak adil dari senior, entah kenapa saya bisa menangis meraung-meraung sehabis sholat seperti orang curhat padahal sebelumnya saya tidak pernah bisa menangis ketika berdoa. Plong.... itulah perasaan yang muncul ketika selesai curhat, dan percaya atau tidak, kondisi seakan berbalik beberapa waktu setelah curhat sama Allah. Saya yang pada awalnya mendapat diskriminasi dari senior, menjadi memiliki hubungan yang sangat dekat layaknya saudara kandung. Begitu juga dalam hal penyerapan isi pelajaran, terasa sangat jauh lebih gampang dan sekali menghafal langsung nyangkut.
Di rantau ini jugalah saya menjadi lebih banyak mencari ilmu agama melalui ikut pengajian seperti liqo (yang sudah berapa kali ganti grup..heehe), ceramah, i’tikaf di mesjid di tahun baru, ketika kebanyakan orang lebih memilih untuk menghabiskan malam tahun baru dengan berpesta, begadang dan menyalakan kembang api, petasan, bakar-bakaran (makanan tentunya :P ).
Itu semua terjadi karena di saat merantau tidak ada yang leibih bisa memberi rasa aman kepada kita selain Sang Pencipta. Tidak bisa dipungkiri, bahwa kadar keimanan kita terkadang juga berfluktuasi, tergantung bagaimana kita me-maintain supaya bisa terus berada di atas.
Akan tetapi, ketika saya ditakdirkan untuk pulang kampung (@least sampai saat ini) untuk mencari nafkah disini, otomatis, saya kembali berkumpul dengan keluarga. Bukan merasa tidak senang berada di tengah keluarga, tapi saya merasa menjadi semakin jauh dengan-Nya. Kebutuhan untuk selalu mencari ilmu agama semakin berkurang, menjadi semakin tidak sabaran, agak menjadi “jahiliyah” dalam ber-fashion (Na’uzubillahi min dzalik), karena percaya atau tidak, ketika dulu masih merantau saya tidak pernah / jarang sekali memakai pakaian yang ngepas badan, pendek badan / pendek tangan (3/4),  jilbab tidak pernah lepas keluar kamar kosan ketika ada yang berkunjung atau hanya sekedar lewat. Namun sekarang saya merasa kembali mengalami erosi keimanan. Saya dengan cueknya tidak berhijab keluar rumah meski di halaman rumah sendiri, atau bahkan jika ada tetangga laki-laki datang ke rumah yang berurusan dengan Mama. Saya dengan cueknya memakai pakaian ketat dengan sedikit rasa malu. Astaghfirullahal ‘adzhim...
Kenapa bisa?
Untuk kasus saya pribadi, menurut hemat saya, ini lebih dikarenakan saya berada di lingkungan yang “nyaman” dan aman, yaitu berada di tengah-tengah keluarga. Tidak ada ketakutan-ketakutan yang muncul sehingga merasa tidak perlu mencari pertolongan dan pelindung lain selain keluarga. Semua permasalahan bisa dikonsultasikan dengan keluarga. Tidak ada lagi kebutuhan untuk minta pendapat Allah. Mau ikut pengajian, tidak / belum menemukan lingkungan pengajian yang pas. Alhasil, jadilah iman semakin terkikis, hampa, dll.
Kalau sudah begini, ingin sekali rasanya kembali merantau dan itulah sebabnya kenapa saya lebih suka merantau. ............... Agar semuanya bisa menjadi lebih baik (subjektif mungkin).. ;)

Wassalam



Minggu, 22 Juli 2012

Pulanglah Pada Saatnya Pulang


Pulanglah Pada Saatnya Pulang.....

“Ma, aku pulangnya besok ya”.
 “Memangnya kantor ada liburnya sebelum puasa? Kapan hari terakhir ngantor?”
“Sebenernya kantor kaya biasa Ma, terakhir ngantor Jum’at, ga ada perlakuan istimewa meskipun mau puasa, kan puasa mulainya sabtu, cuman di kantor banyak yang pulang Kamis. Jumat  juga kantor udah sepi Ma”.
“Jangan,,... Pulang lah di saat sudah waktunya pulang”.
Begitulah percakapan saya dengan Mama saat saya menelpon untuk menanyakan apakah saya boleh pulang lebih awal untuk persiapan menjelang puasa 1433 H di hari Kamis lalu (padahal saya juga ga ikut puasa pertama karena “keistimewaan” sebagai perempuan yang dikasih sama Allah.
Awalnya, ada sedikit kekecewaan ketika dapat larangan dari Mama untuk pulang di hari Kamis (yang biasanya Jumat). Pasalnya di kantor juga ga terlalu banyak kerjaan dan temen-temen lain sudah banyak yang pulang karena mau persiapan menyambut Puasa pertama di kampung halaman bersama keluarga masing-masing. Akan tetapi Mama berbeda prinsip. Saya disuruh pulang pada hari biasanya saya pulang (Jumat). Saya kemudian menyadari bahwa dari sepenggal kalimat Ibu saya itu menyimpan banyak makna dan kebenaran.
Pertama, Ibu saya mengajarkan saya untuk disiplin dalam bekerja. Jangan ikut-ikutan sesuatu yang sifatnya tidak benar, karena lambat laun akan membawa dampak yang negatif bagi diri saya.
Kedua, Jangan menambah deretan dosa yang mungkin tidak kita sadari dengan melakukan kebohongan-kebohongan kecil seperti itu. Kenapa bohong? Ya, karena mungkin nantinya saya akan mencari alasan yang mengada-ada untuk bisa izin tidak  masuk kantor, atau suatu saat nanti ketika ada pemeriksaan. Satu saja kebohongan, secara tidak sadar pasti akan mendatangkan rentetan kebohongan lainnya.
Ketiga, (ini yang paling penting), ketika mengingat potongan kalimat Ibu, entah kenapa saya langsung teringat akan kematian. “Pulanglah di saat waktunya pulang”. Memang benar, suatu saat nanti Allah pasti akan memanggil kita ketika sudah tiba waktunya kita untuk pulang kepangkuan-Nya. Ketika Allah berkata “belum saatnya”, ya kita tidak akan dipanggil meskipun seberapa besar keinginan kita untuk “pulang”. Kita sering melihat kejadian orang yang ingin mengakhiri hidupnya dengan mencoba gantung diri, minum racun, menabrakkan diri di tengah kendaraaan yang sedang lewat, terjun dari lantai 30-an, dan banyak lagi kejadiaan naas lainnya. Atau musibah yang tidak disengaja, misal seorang anak balita terjatuh ke dalam sumur yang sangat dalam, atau bahkan seseorang yang ingin mencoba mengakhiri hidup orang lain. Itu semua tidak akan berhasil jika Allah tidak mengizinkan. Jika Allah mengatakan “belum saatnya kamu pulang”...ya tidak akan pulang.
Jadi kita jangan pernah mencoba untuk mendahului Allah dan jangan pernah membantah perkataan orang tua selagi itu benar. Seperti contoh pengalaman saya kemaren ketika tidak dizinkan pulang, benar saja ada hikmah di balik itu. Kamis malam, ponakan saya yang paling kecil harus dirawat di Rumah Sakit, sehingga saya harus membantu menemani kedua kakaknya di rumah karena kedua orangtuanya menjaga sang adik di RS (disini saya “numpang tempat tinggal di rumah kakak yang pertama, karena saya bekerja di daerah tempat domisilinya). Seandainya saya pulang kampung duluan di hari Kamis, tentunya kakak saya akan keteteran membagi waktu untuk menjaga anak-anaknya.
Dari kejadian ini saya semakin yakin dengan perintah untuk tidak boleh melawan perkataan orang tua selama itu benar.

Wassalam.........


Senin, 16 Juli 2012

Menulis

Menulis......


Saya sudah lama terinspirasi untuk menulis setelah membaca tulisan-tulisan para novelis  best seller, seperti Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Alberthine, Kang Abik, dll. Sepertinya tangan mereka mudah sekali menekan tuts-tuts keyboard menjadi rangkaian kata-kata penuh makna, inspiratif, memotivasi dan memainkan emosi para pembacanya. Mereka seolah-olah memiliki kemampuan mengetik secepat kilat otaknya  mengeluarkan ide-ide dan kata-kata. Ketika membaca karya mereka, serasa menulis itu adalah sesuatu yang enteng (ahh..kayanya nulis itu gampang). Ya... menulis memang gampang, tapi menulis yang seperti apa dulu. Tulisan anak SD juga bisa dibaca, tapi belum tentu memiliki makna yang dalam. Ketika mencoba terjun langsung, kok susah sekali hanya untuk memikirkan dan memilih kata-kata yang pas sebagai awal kalimat. Jangankan untuk masuk percetakan atau disandingkan dengan tulisan-tulisan dari penulis terkenal, bahkan untuk mengunggah ke blog sendiri saja rasanya masih kurang pantas. Alhasil saya mencoba menuangkan apa yang ada di otak, tanpa harus memikirkan kalimat-kalimat saya nantinya layak atau tidak untuk dipublikasikan. Saya ingat dulu Buya Hamka juga menyuruh anak-anaknya menulis apa saja yang sedang dipikirkan, karena kelak akan terbiasa dan tulisan-tulisan yang dihasilkan akan berkualitas.
Nah, sekarang.... here it is.... inilah tulisan seorang amatiran seperti saya.  J
Butuh keberanian tersendiri, kepercayaan diri yang agak tinggi untuk menulis di blog, ... karena sejauh mata memandang dan sebanyak mata membaca, sedikit banyak tulisan kita nantinya akan dibaca khalayak ramai (iya kalo rame, kalo ga?? ... :P ). Tidak semua orang punya pikiran positif dalam menilai seseorang. Saya punya pengalaman seorang teman yang yaaa... bisa dikatakan lumayan agak sedikit suka ngeblog (katakan lah Si A). Saya sendiri pernah membaca blognya atas rekomendasi teman yang lain (si B). B menyuruh saya membaca blog nya si A setelah beberapa kali “berdiskusi” dengan teman lain yang kata orang kebanyakan adalah anak pintar (si C) tentang tulisan si A.
B meminta pendapat saya setelah membaca tulisan si A. Jujur menurut saya memang tulisan A layaknya tulisan orang yang baru belajar / baru mencoba menulis / mencoba jadi penulis (saya tidak tau tulisan saya gimana ya...#mendadak deg-degan..hehe :P.. ). Tapi tidak ada salahnya kan? Toh tidak ada bayi langsung bisa berjalan, tidak ada anak burung yang langsung bisa terbang dan tidak ada orang yang serta merta langsung menjadi spektakuler tanpa harus melewati proses belajar terlebih dahulu. Tapi teman saya si C  malah memberikan pendapat yang sangat ektrim (at least menurut saya) dengan mengatakan tulisan A adalah tulisan anak SD, ga pantes jadi tulisan seorang lulusan Universitas terkenal sejagad raya Indonesia. Sebenarnya sih, sah-sah saja berpendapat sejelek apapun, sepanjang orang yang dibicarakan tidak tau (jatoh-jatohnya ghibah...hehe), tapi menurut saya alangkah bijaknya seorang yang memiliki intelektualitas yang tinggi seperti C memberikan kata-kata yang sedikit lebih sopan dan lebih menyenangkan hati pendengarnya..halah... C sering menjadikan tulisan A sebagai bulan-bulanan, asumsi saya karena suatu kisah yang masih melekat di pikiran C (walaupun redaksi saya agak sedikit lebay, tapi bisa dikatakan mendekati benar... :P..).  Saya sebenarnya juga ga terlalu heran kalo C berpendapat seperti itu, (bawaan kali ya.. hehe..), karena saya juga tidak mengenal C secara lebih dekat. Saya mengenal banyak orang pintar & cerdas lain di luar sana yang memang menunjukkan sisi intelektualitas mereka dari bersikap dan berbicara, namun tetap low profile. Tidak kasar dan seenaknya.
Yaa... itulah maksud saya di awal, kenapa butuh keberanian untuk meng-upload tulisan di blog dan mempersiapkan mental untuk suatu pendapat yang tidak mengenakkan hati... Ahh.. terlepas dari itu semua, yang penting silakan melakukan hal yang disukai sepanjang itu tidak merugikan orang lain. Silakan saja orang lain matanya sakit setelah baca tulisan kita (salah sendiri kenapa baca... :P.. ), silakan saja orang lain mau berkata apa, yang penting happy. Tutup mata, tutup telinga untuk pengacau mood, tapi buka hati untuk seseorang yang kita inginkan.. (lhohh..ga nyambung.. :P ).. Jangan tutup telinga untuk kritikan membangun.
Akhir kata saya ucapkan, Selamat menulis pemirsaaah.... Sampai jumpa di blog yang sama... J.