Minggu, 22 Juli 2012

Pulanglah Pada Saatnya Pulang


Pulanglah Pada Saatnya Pulang.....

“Ma, aku pulangnya besok ya”.
 “Memangnya kantor ada liburnya sebelum puasa? Kapan hari terakhir ngantor?”
“Sebenernya kantor kaya biasa Ma, terakhir ngantor Jum’at, ga ada perlakuan istimewa meskipun mau puasa, kan puasa mulainya sabtu, cuman di kantor banyak yang pulang Kamis. Jumat  juga kantor udah sepi Ma”.
“Jangan,,... Pulang lah di saat sudah waktunya pulang”.
Begitulah percakapan saya dengan Mama saat saya menelpon untuk menanyakan apakah saya boleh pulang lebih awal untuk persiapan menjelang puasa 1433 H di hari Kamis lalu (padahal saya juga ga ikut puasa pertama karena “keistimewaan” sebagai perempuan yang dikasih sama Allah.
Awalnya, ada sedikit kekecewaan ketika dapat larangan dari Mama untuk pulang di hari Kamis (yang biasanya Jumat). Pasalnya di kantor juga ga terlalu banyak kerjaan dan temen-temen lain sudah banyak yang pulang karena mau persiapan menyambut Puasa pertama di kampung halaman bersama keluarga masing-masing. Akan tetapi Mama berbeda prinsip. Saya disuruh pulang pada hari biasanya saya pulang (Jumat). Saya kemudian menyadari bahwa dari sepenggal kalimat Ibu saya itu menyimpan banyak makna dan kebenaran.
Pertama, Ibu saya mengajarkan saya untuk disiplin dalam bekerja. Jangan ikut-ikutan sesuatu yang sifatnya tidak benar, karena lambat laun akan membawa dampak yang negatif bagi diri saya.
Kedua, Jangan menambah deretan dosa yang mungkin tidak kita sadari dengan melakukan kebohongan-kebohongan kecil seperti itu. Kenapa bohong? Ya, karena mungkin nantinya saya akan mencari alasan yang mengada-ada untuk bisa izin tidak  masuk kantor, atau suatu saat nanti ketika ada pemeriksaan. Satu saja kebohongan, secara tidak sadar pasti akan mendatangkan rentetan kebohongan lainnya.
Ketiga, (ini yang paling penting), ketika mengingat potongan kalimat Ibu, entah kenapa saya langsung teringat akan kematian. “Pulanglah di saat waktunya pulang”. Memang benar, suatu saat nanti Allah pasti akan memanggil kita ketika sudah tiba waktunya kita untuk pulang kepangkuan-Nya. Ketika Allah berkata “belum saatnya”, ya kita tidak akan dipanggil meskipun seberapa besar keinginan kita untuk “pulang”. Kita sering melihat kejadian orang yang ingin mengakhiri hidupnya dengan mencoba gantung diri, minum racun, menabrakkan diri di tengah kendaraaan yang sedang lewat, terjun dari lantai 30-an, dan banyak lagi kejadiaan naas lainnya. Atau musibah yang tidak disengaja, misal seorang anak balita terjatuh ke dalam sumur yang sangat dalam, atau bahkan seseorang yang ingin mencoba mengakhiri hidup orang lain. Itu semua tidak akan berhasil jika Allah tidak mengizinkan. Jika Allah mengatakan “belum saatnya kamu pulang”...ya tidak akan pulang.
Jadi kita jangan pernah mencoba untuk mendahului Allah dan jangan pernah membantah perkataan orang tua selagi itu benar. Seperti contoh pengalaman saya kemaren ketika tidak dizinkan pulang, benar saja ada hikmah di balik itu. Kamis malam, ponakan saya yang paling kecil harus dirawat di Rumah Sakit, sehingga saya harus membantu menemani kedua kakaknya di rumah karena kedua orangtuanya menjaga sang adik di RS (disini saya “numpang tempat tinggal di rumah kakak yang pertama, karena saya bekerja di daerah tempat domisilinya). Seandainya saya pulang kampung duluan di hari Kamis, tentunya kakak saya akan keteteran membagi waktu untuk menjaga anak-anaknya.
Dari kejadian ini saya semakin yakin dengan perintah untuk tidak boleh melawan perkataan orang tua selama itu benar.

Wassalam.........


Senin, 16 Juli 2012

Menulis

Menulis......


Saya sudah lama terinspirasi untuk menulis setelah membaca tulisan-tulisan para novelis  best seller, seperti Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Alberthine, Kang Abik, dll. Sepertinya tangan mereka mudah sekali menekan tuts-tuts keyboard menjadi rangkaian kata-kata penuh makna, inspiratif, memotivasi dan memainkan emosi para pembacanya. Mereka seolah-olah memiliki kemampuan mengetik secepat kilat otaknya  mengeluarkan ide-ide dan kata-kata. Ketika membaca karya mereka, serasa menulis itu adalah sesuatu yang enteng (ahh..kayanya nulis itu gampang). Ya... menulis memang gampang, tapi menulis yang seperti apa dulu. Tulisan anak SD juga bisa dibaca, tapi belum tentu memiliki makna yang dalam. Ketika mencoba terjun langsung, kok susah sekali hanya untuk memikirkan dan memilih kata-kata yang pas sebagai awal kalimat. Jangankan untuk masuk percetakan atau disandingkan dengan tulisan-tulisan dari penulis terkenal, bahkan untuk mengunggah ke blog sendiri saja rasanya masih kurang pantas. Alhasil saya mencoba menuangkan apa yang ada di otak, tanpa harus memikirkan kalimat-kalimat saya nantinya layak atau tidak untuk dipublikasikan. Saya ingat dulu Buya Hamka juga menyuruh anak-anaknya menulis apa saja yang sedang dipikirkan, karena kelak akan terbiasa dan tulisan-tulisan yang dihasilkan akan berkualitas.
Nah, sekarang.... here it is.... inilah tulisan seorang amatiran seperti saya.  J
Butuh keberanian tersendiri, kepercayaan diri yang agak tinggi untuk menulis di blog, ... karena sejauh mata memandang dan sebanyak mata membaca, sedikit banyak tulisan kita nantinya akan dibaca khalayak ramai (iya kalo rame, kalo ga?? ... :P ). Tidak semua orang punya pikiran positif dalam menilai seseorang. Saya punya pengalaman seorang teman yang yaaa... bisa dikatakan lumayan agak sedikit suka ngeblog (katakan lah Si A). Saya sendiri pernah membaca blognya atas rekomendasi teman yang lain (si B). B menyuruh saya membaca blog nya si A setelah beberapa kali “berdiskusi” dengan teman lain yang kata orang kebanyakan adalah anak pintar (si C) tentang tulisan si A.
B meminta pendapat saya setelah membaca tulisan si A. Jujur menurut saya memang tulisan A layaknya tulisan orang yang baru belajar / baru mencoba menulis / mencoba jadi penulis (saya tidak tau tulisan saya gimana ya...#mendadak deg-degan..hehe :P.. ). Tapi tidak ada salahnya kan? Toh tidak ada bayi langsung bisa berjalan, tidak ada anak burung yang langsung bisa terbang dan tidak ada orang yang serta merta langsung menjadi spektakuler tanpa harus melewati proses belajar terlebih dahulu. Tapi teman saya si C  malah memberikan pendapat yang sangat ektrim (at least menurut saya) dengan mengatakan tulisan A adalah tulisan anak SD, ga pantes jadi tulisan seorang lulusan Universitas terkenal sejagad raya Indonesia. Sebenarnya sih, sah-sah saja berpendapat sejelek apapun, sepanjang orang yang dibicarakan tidak tau (jatoh-jatohnya ghibah...hehe), tapi menurut saya alangkah bijaknya seorang yang memiliki intelektualitas yang tinggi seperti C memberikan kata-kata yang sedikit lebih sopan dan lebih menyenangkan hati pendengarnya..halah... C sering menjadikan tulisan A sebagai bulan-bulanan, asumsi saya karena suatu kisah yang masih melekat di pikiran C (walaupun redaksi saya agak sedikit lebay, tapi bisa dikatakan mendekati benar... :P..).  Saya sebenarnya juga ga terlalu heran kalo C berpendapat seperti itu, (bawaan kali ya.. hehe..), karena saya juga tidak mengenal C secara lebih dekat. Saya mengenal banyak orang pintar & cerdas lain di luar sana yang memang menunjukkan sisi intelektualitas mereka dari bersikap dan berbicara, namun tetap low profile. Tidak kasar dan seenaknya.
Yaa... itulah maksud saya di awal, kenapa butuh keberanian untuk meng-upload tulisan di blog dan mempersiapkan mental untuk suatu pendapat yang tidak mengenakkan hati... Ahh.. terlepas dari itu semua, yang penting silakan melakukan hal yang disukai sepanjang itu tidak merugikan orang lain. Silakan saja orang lain matanya sakit setelah baca tulisan kita (salah sendiri kenapa baca... :P.. ), silakan saja orang lain mau berkata apa, yang penting happy. Tutup mata, tutup telinga untuk pengacau mood, tapi buka hati untuk seseorang yang kita inginkan.. (lhohh..ga nyambung.. :P ).. Jangan tutup telinga untuk kritikan membangun.
Akhir kata saya ucapkan, Selamat menulis pemirsaaah.... Sampai jumpa di blog yang sama... J.