Merantau... Seperti judul film ya? J
Iya, film Merantau itu menceritakan pengalaman seorang
Anak Bujang yang berasal dari Minangkabau pergi merantau ke daerah Jawa untuk
mencoba peruntungan hidupnya. Dan memang seperti itulah kondisi masyarakat
Minang yang sangat identik dengan kebiasaan (atau boleh dikatakan sebagai
budaya) Merantau. Pada zaman dulu mungkin hukumnya “wajib” bagi para pemuda
untuk mencoba “menjamah” daerah lain,
daripada tinggal di kampung, dan tidak tau mau berbuat apa. Tapi seiring
beranjaknya waktu, kebiasaan itu juga
sudah bergeser dan merambah kaum wanita. Tingginya “demand” akan pendidikan,
menuntut pemuda maupun pemudi mencari ilmu setinggi-tingginya, termasuk jika
harus ke luar daerah sekalipun.
Itulah yang juga terjadi dalam hidup saya.
Pernah merasakan bagaimana hidup di daerah orang tanpa sanak saudara pun, namun
di tengah perjalanan mendapatkan banyak saudara baru yang bahkan bisa menjadi
lebih dekat hubungannya daripada saudara / keluarga sendiri sekalipun. Saya
jadi teringat kutipan kata-kata Imam Syafi’i yang berkaitan dengan ini :
“Orang yang berilmu dan beradab tidak akan
tinggal di kampung halaman
Tinggalkan negerimu & merantaulah ke negeri
orang
Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti
kawan & kerabat
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa
setelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan
keruh mengenag
Singa jika tak tinngalkan sarang tak kan dapat
mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan
kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak &
terus diam
Tentu manusia bosan padanya & enggan
memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali
dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika
di dalam hutan”.
Kalo boleh sedikit flashback ke belakang, dulu selepas SMA saya ingiiiin sekali masuk
UI. Di keluarga saya yang semuanya perempuan, saya adalah anak bontot yang
notabene dikatakan sebagai anak manja (dan itu tidak berlaku untuk
saya, karena beruntung kedua orang tua saya adalah orang tua yang sangat adil
memperlakukan anak-anaknya). Diantara kami berlima, belum ada yang merantau
jauh keluar Pulau Sumatera, paling jauh hanya sampai Aceh. Namun itu semua
tidak menghalangi niat saya untuk merantau ke Jawa dan berhasil meyakinkan
orang tua kalo disana saya akan baik-baik saja dengan bantuan senior yang
kebetulan juga kenal dekat dengan keluarga. Singkat cerita, saya berhasil
menerobos Pulau Jawa dan kuliah di UI.
Ketika merantau inilah saya mendapatkan banyak (belum cukup banyak sih
sebenernya :P ) keseruan, kelucuan, kesedihan, kecerdasan, kemandirian, kedewasaan,
etc. SERU punya saudara baru dari berbagai belahan penjuru tanah air, dengan
berbagai kebiasaan, kebudayaan, “penemuan baru” yang tidak akan didapatkan kalo
hanya berdiam diri di tempat yang sama terus. LUCU melihat, mengalami,
melakukan ide-ide dan kekonyolan-kekonyolan di masa-masa perkuliahan. SEDIH
ketika mesti sakit tanpa ada perhatian dan masakan Bundo yang memulihkan, juga
ketika uang bulanan sudah memasuki masa “sakaratul maut” dan mesti irit
seirit-iritnya atau bahkan menahan malu dan tebelin muka untuk minjem ke
tetangga sebelah kamar di kosan..haha..
Kemudian merasa CERDAS ketika menginjak dan belajar di kampus serba
kuning itu, dimana banyak kebanggaan di dalamnya. Menjadi MANDIRI, karena sebagai
anak rantauan kita memang dituntut untuk itu. Kita dituntut untuk bisa
memutuskan segala sesuatunya sendiri, menjaga diri sebagai anak perempuan di
tengah kehidupan kota besar yang ganas dan menggila. Menjadi semakin DEWASA
karena kita banyak berhadapan dengan orang-orang yang berbeda karakter, isi
kepala,sifat, RAS, etc. Akan tetapi yang paling penting bagi saya pribadi
adalah, saya merasa jauh lebih dekat dengan Sang Pencipta ketika saya hidup
“menyendiri di tengah keramaian” kota besar Jakarta (Depok sih
sebenernya..hehe). Kenapa demikian?
Yaa... ketika kita hidup sendiri di tempat yang
sama sekali asing, kita tidak punya sandaran dan tempat mengadu yang paling
dekat kecuali kepada Allah swt. Ketakutan itu muncul dan membuat kita menjadi
lebih membutuhkan pertolongan dan perlindungan-Nya. Setidaknya itulah yang saya
rasakan saat itu. Di perjalanan dari kosan – kampus, hati senantiasa berzikir
minta perlindungan dari Allah karena saya memang betul-betul takut di Jakarta
terutama di awal kehidupan merantau. Ketika mendapat perlakuan tidak adil dari
senior, entah kenapa saya bisa menangis meraung-meraung sehabis sholat seperti
orang curhat padahal sebelumnya saya tidak pernah bisa menangis ketika berdoa.
Plong.... itulah perasaan yang muncul ketika selesai curhat, dan percaya atau
tidak, kondisi seakan berbalik beberapa waktu setelah curhat sama Allah. Saya
yang pada awalnya mendapat diskriminasi dari senior, menjadi memiliki hubungan
yang sangat dekat layaknya saudara kandung. Begitu juga dalam hal penyerapan
isi pelajaran, terasa sangat jauh lebih gampang dan sekali menghafal langsung
nyangkut.
Di rantau ini jugalah saya menjadi lebih banyak
mencari ilmu agama melalui ikut pengajian seperti liqo (yang sudah berapa kali
ganti grup..heehe), ceramah, i’tikaf di mesjid di tahun baru, ketika kebanyakan
orang lebih memilih untuk menghabiskan malam tahun baru dengan berpesta,
begadang dan menyalakan kembang api, petasan, bakar-bakaran (makanan tentunya
:P ).
Itu semua terjadi karena di saat merantau tidak
ada yang leibih bisa memberi rasa aman kepada kita selain Sang Pencipta. Tidak
bisa dipungkiri, bahwa kadar keimanan kita terkadang juga berfluktuasi,
tergantung bagaimana kita me-maintain
supaya bisa terus berada di atas.
Akan tetapi, ketika saya ditakdirkan untuk
pulang kampung (@least sampai saat ini) untuk mencari nafkah disini, otomatis,
saya kembali berkumpul dengan keluarga. Bukan merasa tidak senang berada di tengah
keluarga, tapi saya merasa menjadi semakin jauh dengan-Nya. Kebutuhan untuk
selalu mencari ilmu agama semakin berkurang, menjadi semakin tidak sabaran, agak
menjadi “jahiliyah” dalam ber-fashion
(Na’uzubillahi min dzalik), karena percaya atau tidak, ketika dulu masih
merantau saya tidak pernah / jarang sekali memakai pakaian yang ngepas badan,
pendek badan / pendek tangan (3/4),
jilbab tidak pernah lepas keluar kamar kosan ketika ada yang berkunjung
atau hanya sekedar lewat. Namun sekarang saya merasa kembali mengalami erosi
keimanan. Saya dengan cueknya tidak berhijab keluar rumah meski di halaman
rumah sendiri, atau bahkan jika ada tetangga laki-laki datang ke rumah yang
berurusan dengan Mama. Saya dengan cueknya memakai pakaian ketat dengan sedikit
rasa malu. Astaghfirullahal ‘adzhim...
Kenapa bisa?
Untuk kasus saya pribadi, menurut hemat saya,
ini lebih dikarenakan saya berada di lingkungan yang “nyaman” dan aman, yaitu
berada di tengah-tengah keluarga. Tidak ada ketakutan-ketakutan yang muncul
sehingga merasa tidak perlu mencari pertolongan dan pelindung lain selain
keluarga. Semua permasalahan bisa dikonsultasikan dengan keluarga. Tidak ada
lagi kebutuhan untuk minta pendapat Allah. Mau ikut pengajian, tidak / belum
menemukan lingkungan pengajian yang pas. Alhasil, jadilah iman semakin
terkikis, hampa, dll.
Kalau sudah begini, ingin sekali rasanya
kembali merantau dan itulah sebabnya kenapa saya lebih suka merantau.
............... Agar semuanya bisa menjadi lebih baik (subjektif mungkin).. ;)
Wassalam