Senin, 27 Agustus 2012

Itulah Sebabnya Kenapa Saya Lebih Suka Merantau




Merantau... Seperti judul film ya? J
Iya, film Merantau itu menceritakan pengalaman seorang Anak Bujang yang berasal dari Minangkabau pergi merantau ke daerah Jawa untuk mencoba peruntungan hidupnya. Dan memang seperti itulah kondisi masyarakat Minang yang sangat identik dengan kebiasaan (atau boleh dikatakan sebagai budaya) Merantau. Pada zaman dulu mungkin hukumnya “wajib” bagi para pemuda untuk mencoba  “menjamah” daerah lain, daripada tinggal di kampung, dan tidak tau mau berbuat apa. Tapi seiring beranjaknya waktu, kebiasaan  itu juga sudah bergeser dan merambah kaum wanita. Tingginya “demand” akan pendidikan, menuntut pemuda maupun pemudi mencari ilmu setinggi-tingginya, termasuk jika harus ke luar daerah sekalipun.
Itulah yang juga terjadi dalam hidup saya. Pernah merasakan bagaimana hidup di daerah orang tanpa sanak saudara pun, namun di tengah perjalanan mendapatkan banyak saudara baru yang bahkan bisa menjadi lebih dekat hubungannya daripada saudara / keluarga sendiri sekalipun. Saya jadi teringat kutipan kata-kata Imam Syafi’i yang berkaitan dengan ini :
“Orang yang berilmu dan beradab tidak akan tinggal di kampung halaman
Tinggalkan negerimu & merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti kawan & kerabat
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh mengenag

Singa jika tak tinngalkan sarang tak kan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak & terus diam
Tentu manusia bosan padanya & enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan”.

Kalo boleh sedikit flashback ke belakang, dulu selepas SMA saya ingiiiin sekali masuk UI. Di keluarga saya yang semuanya perempuan, saya adalah anak bontot yang notabene dikatakan sebagai anak manja (dan itu tidak berlaku untuk saya, karena beruntung kedua orang tua saya adalah orang tua yang sangat adil memperlakukan anak-anaknya). Diantara kami berlima, belum ada yang merantau jauh keluar Pulau Sumatera, paling jauh hanya sampai Aceh. Namun itu semua tidak menghalangi niat saya untuk merantau ke Jawa dan berhasil meyakinkan orang tua kalo disana saya akan baik-baik saja dengan bantuan senior yang kebetulan juga kenal dekat dengan keluarga. Singkat cerita, saya berhasil menerobos Pulau Jawa dan kuliah di UI.
Ketika merantau inilah saya  mendapatkan banyak (belum cukup banyak sih sebenernya :P ) keseruan, kelucuan, kesedihan, kecerdasan, kemandirian, kedewasaan, etc. SERU punya saudara baru dari berbagai belahan penjuru tanah air, dengan berbagai kebiasaan, kebudayaan, “penemuan baru” yang tidak akan didapatkan kalo hanya berdiam diri di tempat yang sama terus. LUCU melihat, mengalami, melakukan ide-ide dan kekonyolan-kekonyolan di masa-masa perkuliahan. SEDIH ketika mesti sakit tanpa ada perhatian dan masakan Bundo yang memulihkan, juga ketika uang bulanan sudah memasuki masa “sakaratul maut” dan mesti irit seirit-iritnya atau bahkan menahan malu dan tebelin muka untuk minjem ke tetangga sebelah kamar di kosan..haha..  Kemudian merasa CERDAS ketika menginjak dan belajar di kampus serba kuning itu, dimana banyak kebanggaan di dalamnya. Menjadi MANDIRI, karena sebagai anak rantauan kita memang dituntut untuk itu. Kita dituntut untuk bisa memutuskan segala sesuatunya sendiri, menjaga diri sebagai anak perempuan di tengah kehidupan kota besar yang ganas dan menggila. Menjadi semakin DEWASA karena kita banyak berhadapan dengan orang-orang yang berbeda karakter, isi kepala,sifat, RAS, etc. Akan tetapi yang paling penting bagi saya pribadi adalah, saya merasa jauh lebih dekat dengan Sang Pencipta ketika saya hidup “menyendiri di tengah keramaian” kota besar Jakarta (Depok sih sebenernya..hehe). Kenapa demikian?
Yaa... ketika kita hidup sendiri di tempat yang sama sekali asing, kita tidak punya sandaran dan tempat mengadu yang paling dekat kecuali kepada Allah swt. Ketakutan itu muncul dan membuat kita menjadi lebih membutuhkan pertolongan dan perlindungan-Nya. Setidaknya itulah yang saya rasakan saat itu. Di perjalanan dari kosan – kampus, hati senantiasa berzikir minta perlindungan dari Allah karena saya memang betul-betul takut di Jakarta terutama di awal kehidupan merantau. Ketika mendapat perlakuan tidak adil dari senior, entah kenapa saya bisa menangis meraung-meraung sehabis sholat seperti orang curhat padahal sebelumnya saya tidak pernah bisa menangis ketika berdoa. Plong.... itulah perasaan yang muncul ketika selesai curhat, dan percaya atau tidak, kondisi seakan berbalik beberapa waktu setelah curhat sama Allah. Saya yang pada awalnya mendapat diskriminasi dari senior, menjadi memiliki hubungan yang sangat dekat layaknya saudara kandung. Begitu juga dalam hal penyerapan isi pelajaran, terasa sangat jauh lebih gampang dan sekali menghafal langsung nyangkut.
Di rantau ini jugalah saya menjadi lebih banyak mencari ilmu agama melalui ikut pengajian seperti liqo (yang sudah berapa kali ganti grup..heehe), ceramah, i’tikaf di mesjid di tahun baru, ketika kebanyakan orang lebih memilih untuk menghabiskan malam tahun baru dengan berpesta, begadang dan menyalakan kembang api, petasan, bakar-bakaran (makanan tentunya :P ).
Itu semua terjadi karena di saat merantau tidak ada yang leibih bisa memberi rasa aman kepada kita selain Sang Pencipta. Tidak bisa dipungkiri, bahwa kadar keimanan kita terkadang juga berfluktuasi, tergantung bagaimana kita me-maintain supaya bisa terus berada di atas.
Akan tetapi, ketika saya ditakdirkan untuk pulang kampung (@least sampai saat ini) untuk mencari nafkah disini, otomatis, saya kembali berkumpul dengan keluarga. Bukan merasa tidak senang berada di tengah keluarga, tapi saya merasa menjadi semakin jauh dengan-Nya. Kebutuhan untuk selalu mencari ilmu agama semakin berkurang, menjadi semakin tidak sabaran, agak menjadi “jahiliyah” dalam ber-fashion (Na’uzubillahi min dzalik), karena percaya atau tidak, ketika dulu masih merantau saya tidak pernah / jarang sekali memakai pakaian yang ngepas badan, pendek badan / pendek tangan (3/4),  jilbab tidak pernah lepas keluar kamar kosan ketika ada yang berkunjung atau hanya sekedar lewat. Namun sekarang saya merasa kembali mengalami erosi keimanan. Saya dengan cueknya tidak berhijab keluar rumah meski di halaman rumah sendiri, atau bahkan jika ada tetangga laki-laki datang ke rumah yang berurusan dengan Mama. Saya dengan cueknya memakai pakaian ketat dengan sedikit rasa malu. Astaghfirullahal ‘adzhim...
Kenapa bisa?
Untuk kasus saya pribadi, menurut hemat saya, ini lebih dikarenakan saya berada di lingkungan yang “nyaman” dan aman, yaitu berada di tengah-tengah keluarga. Tidak ada ketakutan-ketakutan yang muncul sehingga merasa tidak perlu mencari pertolongan dan pelindung lain selain keluarga. Semua permasalahan bisa dikonsultasikan dengan keluarga. Tidak ada lagi kebutuhan untuk minta pendapat Allah. Mau ikut pengajian, tidak / belum menemukan lingkungan pengajian yang pas. Alhasil, jadilah iman semakin terkikis, hampa, dll.
Kalau sudah begini, ingin sekali rasanya kembali merantau dan itulah sebabnya kenapa saya lebih suka merantau. ............... Agar semuanya bisa menjadi lebih baik (subjektif mungkin).. ;)

Wassalam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar